
KOBE, KOMPAS.com - Bertani dalam rumah kaca atau green house sudah diadopsi para petani, terutama agribisnis sayuran dan tanaman hias. Meski demikian, perubahan cuaca yang dihadapi membuat hasil panen tidak maksimal sehingga pertanian dengan cara ini menjadi mahal.
Rumah
kaca atau green house merupakan bangunan yang terbuat dari
bahan kaca atau plastik tebal yang menutupi seluruh permukaan bangunan, baik
atap atau dindingnya. Di dalamnya dilengkapi pengatur suhu dan distribusi
air.
Pertanian
dalam ruangan tertutup semacam itu memang memudahkan petani mengontrol
lingkungan, tetapi biaya yang dikeluarkan sangat mahal karena adanya biaya
membangun rumah kaca dan biaya operasional.
Salah
satu metode pertanian yang kini sedang dikembangkan oleh Panasonic Eco
Solutions adalah rumah kaca hidroponik. Menurut Shingo Nagatomo, Senior
Coordinator Agri Engineering Project Panasonic, rumah kaca hidroponik pada
dasarnya menggabungkan antara pertanian tradisional dengan pertanian rumah
kaca.
"Kami
mengembangkan sistem rumah kaca yang sangat terkontrol, mulai dari pencahayaan,
pengaturan kelembaban, sampai pengairan," katanya saat ditemui di
laboratorium pengembangan rumah kaca di Osaka, Jepang, Jumat (28/11/14).
Bahan-bahan
yang dipakai untuk bangunan rumah kaca ini sama seperti pada rumah kaca
konvensional. Salah satu hal yang membedakan rumah kaca hidroponik ini adalah
tersedianya dua sensor, satu di dalam dan satu di luar rumah kaca untuk
menyediakan lingkungan yang optimal bagi tanaman.
"Sensor
di luar bisa mengecek suhu dan kelembaban udara. Berdasarkan informasi tersebut
sistem secara otomatis akan mengatur berapa banyak air yang harus disemprot,
atau perlu tidaknya tirai atap ditutup," kata Nagatomo.
Pada
sistem pencahayaan, misalnya pada pagi hari saat cahaya matahari dari arah
timur lebih terang, maka bagian atap akan ditutup untuk mengurangi pancaran
cahaya. Sementara itu di musim panas, tirai akan memberikan efek bayangan
sehingga tanaman lebih kuat. Pada rumah kaca konvensional, Nagatomo menilai
energi yang terpakai cenderung boros.
"Normalnya
rumah kaca akan mengendalikan kelembaban dan suhu, tapi banyak energi jadi
terpakai. Dengan cara baru ini, pengaturan dan penggunaan air akan disesuaikan
dengan tahap pertumbuhan tanaman, sehingga lebih hemat energi,"
katanya.
Sistem
yang serba otomatis tersebut juga akan membuat jumlah tenaga kerja bisa dihemat
dan jam kerja yang dihabiskan di satu rumah kaca lebih sedikit. Rumah kaca
hidroponik tersebut sejauh ini sudah diuji coba untuk menanam bayam.
"Dengan
kondisi lingkungan di Osaka, kami bisa memanen bayam 8 kali dalam setahun, dua
kali lipat dari pertanian tradisional," ujarnya.
Selain
bayam, saat ini juga sedang diuji coba penanaman stroberi, tomat, dan beberapa
tanaman herbal dari Jepang. Sistem pertanian tersebut pertama kali diluncurkan
pada April 2014 dan akan dipasarkan secara bertahap.
Untuk
pembangunan rumah kaca dengan plastik seluas 50 meter persegi, dibutuhkan biaya
sekitar 55 juta rupiah, dengan biaya operasional listrik pertahun mencapai
sekitar 85 juta rupiah.
"Tentu
saja tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan pertanian tradisional
karena ada biaya pembangunan rumah kaca dan juga biaya listrik. Namun pertanian
tradisional juga butuh biaya yang tidak sedikit untuk tenaga kerja,"
katanya.
Ia
menambahkan, salah satu keunggulan sistem pertanian green house adalah tanaman
bisa terus ditaman secara berkesinambungan sepanjang tahun.
"Kami
juga memilih bayam karena para petani di sini mengeluh sulit menanam bayam di
musim panas," katanya.
Penulis : Lusia Kus Anna
Editor : Tri Wahono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar